Latar Belakang
Membicarakan hukum alam tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan hukum positif. Sebagaimana dinyatakan W. Friedmann[2] dalam bukunya legal theory ”hukum alam, dalam berbagai bentuknya, sebagai satu ungkapan untuk mencari cita-cita yang lebih tinggi dari hukum positif. Demikian juga Hans Kelsen, menyatakan adanya dualisme antara hukum alam dan hukum positif, di dalam bukunya general theory of law and state. Kelsen, menegaskan bahwa diatas hukum positif yang tidak sempurna, terdapat hukum alam yang sempurna. Hukum positif baru teruji kebenarannya bila bersesuaian dengan hukum alam (positive law is justified only insofar as it corresponds to the natural law).[3] Perubahan kondisi-kondisi sosial dan politik menyebabkan gagasan tentang hukum alam pun berubah. Satu-satunya yang masih tetap adalah tuntutan pada suatu yang lebih tinggi dari hukum positif.[4] Dalam membicarakan hukum alam dan hukum positif, pembicaraan tentang keadilan menjadi bagian yang sering dipersoalkan dalam menemukan tatanan hukum yang lebih baik untuk mengatur perbuatan manusia. Apakah hukum positif validitasnya tergantung pada hukum alam, sehingga hukum positif harus sesuai dengan hukum alam ? Atau hukum positif dapat menyimpang dari hukum alam karena validitasnya berasal dari norma hukum (yang lebih tinggi) itu sendiri atas dasar perintah penguasa atau negara yang menciptakan norma hukum tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba dijawab dengan menelusuri ajaran-ajaran hukum alam dan hukum positif dari beberapa ahli hukum pada zaman kuno sampai zaman modern.
Dari uraian diatas ada dua persoalan yang akan ditelusuri dalam tulisan ini, yaitu:
Apa perbedaan mendasar antara hukum alam dan hukum positif ditinjau dari beberapa pendapat ahli hukum?
Bagaimana perspektif tentang keadilan menurut hukum alam dan hukum positif?
A. Hukum Alam
1. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Yunani dan Romawi
Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta alam, dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat kaum sofis hukum alam ditafsirkan sebagai ”hukum dari yang paling kuat”, yang sebetulnya tidak dapat disebut hukum; yang disebut hukum alam disini, tidak lain daripada kekuasaan dan kekerasan.[5] Aristoteles merupakan orang yang pertama kali membedakan antara hukum alam dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif, yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.[6] Bagi kaum sofis, alam merupakan sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia. Sedangkan Aristoteles, dalam bukunya ”logika”memandang bahwa dunia sebagai totalitas yang meliputi seluruh alam. Manusia adalah bagian dari alam, diberkahi dengan akal yang aktif yang membedakannya dari semua bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu membentuk kehendaknya sesuai dengan pengertian akalnya.[7] Tesis Aristoteles ini menjadi dasar konsepsi hukum alam para filsuf Stoa.
Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang Romawi mengenai hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa semuanya yang ada merupakan suatu kesatuan yang teratur (kosmos), berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa dunia (logos). Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala.[8] Aliran ini berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan logos yakni melalui hukum universal (lex universalis) yang terdapat dalam segala-galanya. Hukum universal itu terkandung dalam logos, dan sebagai demikian disebut hukum abadi (lex aeterna). Sejauh hukum abadi itu menjadi nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut hukum alam (lex naturalis). Hukum alam ini tidak tergantung dari orang, selalu berlaku dan tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar segala hukum positif.[9] Para filsuf Stoa, membedakan antara cita-cita hukum alam yang nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan hukum alam, tidaklah terdapat keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan. Tetapi lembaga-lembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia. Hukum alam ”nisbi” menuntut dari pembentuk perundang-undangan, adanya undang-undang yang dituntun oleh akal, dan sedekat mungkin pada hukum alam mutlak.[10] Sasaran tertinggi manusia ialah menjadi manusia yang adil, dengan tunduk kepada hukum alam (nomos) sebagai pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara ditaati karena sesuai dengan hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat bahwa masyarakat manusia dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan hukum alam.[11]
2. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Abad Pertengahan
St. Thomas Aquinas adalah filsuf terbesar dari aliran Scholastic di abad pertengahan. Ia menerima pengaruh dari Aristoteles tetapi menyatakannya dengan dogma agama Kristen sehingga merupakan suatu sistem pemikiran tersendiri. Thomas Aquinas merumuskan hukum sebagai ”peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya”. Oleh karena dunia ini diatur oleh tatanan Ketuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu: lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana.[12]
Lex aeterna adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam semesta. Hanya sebagian kecil saja dari lex aeterna yang bisa ditangkap oleh manusia melalui akal pikiran yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Bagian yang bisa ditangkap ini disebut sebagai lex naturalis, yang memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui petunjuk-petunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa yang baik harus dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut baik, Thomas Aquinas mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecendrungan alamiah pada manusia. Pertama, adalah insting manusia yang alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga, manusia mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecendrungan untuk menolak ketidaktahuan. Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu adalah suatu hal yang alamiah pada manusia untuk menghindari perbuatan yang merugikan orang-orang yang hidup bersamanya. Sementara lex divina adalah apa yang tercantum dalam kitab-kitab suci dan lex humana apa yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian baru serta Lama.[13]
Dengan demikian hukum alam menurut Thomas Aquinas tidak lain adalah bagian dari hukum Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam fikiran alam. Manusia sebagai makluk yang berakal, menerapkan bagian dari hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, karenanya ia dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam, yang merupakan sumber dari semua hukum manusia.[14]
Lebih lanjut, Thomas Aquinas membagi konsep hukum alamnya atas dua jenis sebagai berikut:
Principia prima, yaitu asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak dapat diasingkan daripadanya. Oleh karena itu, principia prima tidak dapat berubah menurut tempat dan waktu.
Principia secundaria, yaitu asas yang bersumber dari principia prima, sebaliknya tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktu dan tempat. Seringkali asas ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap principia prima. Penafsiran ini bervariasi, dapat baik atau buruk. Suatu penafsiran dapat mengikat umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.[15]
3. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance ajaran mengenai hukum alam tidak lagi didasarkan pada paham ketuhanan (scholastik), melainkan didasarkan pada rasio manusia. Pendasar daripada hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius. Ia menulis dua buku yang terkenal yaitu De Jure Belli ac Pacis (tentang hukum damai dan perang) dan Mare Liberium (tentang hukum laut bebas). Grotius dipandang sebagai peletak dasar hukum internasional dengan menyebutnya sebagai hukum bangsa-bangsa (ius gentium). Ius gentium ini menurut Grotius merupakan hukum alam yang dipraktekkan oleh segala bangsa.
Menurut Grotius, hukum alam itu bersumber dari rasio manusia, yaitu merupakan pencetusan dari pikiran manusia apakah sesuatu tingkah laku manusia itu dipandang baik atau buruk, apakah tindakan manusia itu dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab penilaian terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas kesusilaan alam tersebut.[16] Hukum alam yang didapati manusia berkat kegiatan rasionalnya dipandang oleh Grotius sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif. Dalam hal ini Grotius menurut tradisi Skolastik. Namun ia menyimpang dari pandangan Skolastik dengan memastikan, bahwa hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak ada. sebabnya ialah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya. Dilain fihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta semesta alam. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pondamen hukum alam.[17] Dengan demikian Grotius juga mengakui bahwa disamping hukum alam yang bersumber pada rasio manusia, ada hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan, misalnya yang terdapat dalam Kitab Suci. Terhadap hal ini Apeldoorn melihat bahwa Grotius tidak konsekuen dengan pendapatnya. Dalam ”De Jure Belli ac Pacis”, Grotius mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi hukum alampun secara tidak langsung merupakan ciptaan Tuhan juga.[18]
Grotius mengemukakan prinsip rasional pertama dalam bidang hukum ialah setiap orang mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama orang lain secara damai. Kecendrungan ini ada pada manusia lepas dari kemauannya. Oleh karena itu kecendrungan ini dapat menjadi dasar yang objektif seluruh hukum.[19] Sehubungan dengan prinsip ini Grotius mengemukakan empat prinsip yang merupakan tiang dari seluruh sistem hukum alam yaitu: a) prinsip kupunya dan kaupunya. Milik orang lain harus dijaga. Jika barang-barang yang dipinjam membawa untung, untung itu harus diganjar; b) prinsip kesetiaan pada janji; c) prinsip ganti rugi, yakni kalau kerugian itu disebabkan karena kesalahan orang lain; dan d) prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lain. Keempat prinsip ini ditemukan secara a priori sebagai prinsip segala hukum. Akan tetapi prinsip itu dapat juga ditemukan secara aposteriori, yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab.[20]
Selanjutnya Grotius membagi hukum alam dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit adalah hukum yang sesungguhnya oleh karena menciptakan hak untuk menuntut, supaya diberikan apa yang termasuk padanya (facultas). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah keadilan yang melunasinya (penulis: keadilan komutatif). Sementara hukum alam dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, melainkan hanya suatu hak berupa kepantasan (aptitudo). Keadilan yang berlaku dibidang ini ialah keadilan yang memberikan (penulis: keadilan distributif).[21]
Mengenai hubungan hukum alam dan hukum positif Grotius berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku dalam negara sebab disetujui dan disahkan oleh yang berwibawa. Hukum ini (positif) tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh menyuruh sesuatu yang terlarang oleh hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum positif boleh dilewati, jika dituntut oleh kepentingan umum negara.[22]
Berlawanan dengan Grotius, Thomas Hobbes tidak menerima adanya kecendrungan untuk hidup bersama pada manusia. Menurut Hobbes manusia sejak zaman purbakala seluruhnya dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh karena dalam situasi asli belum terdapat norma-norma hidup bersama, maka orang primitif mempunyai hak atas semuanya. Maka timbullah apa yang disebut Hobbes bellum omnium contra omnes, manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Lama kelamaan orang mulai sadar akan keuntungan untuk mengamankan hidupnya dengan menciptakan suatu aturan hidup bersama bagi semua orang yang termasuk kelompok yang sama. Untuk mencapai aturan semacam itu semua orang harus menyerahkan hak-hak asli mereka atas segala-galanya dan harus menuruti beberapa kecendrungan alamiah yang oleh Hobbes disebut hukum alam (leges naturales). Hukum-hukum alam ini bukan hukum dalam arti yang sesungguhnya, tetapi hanya merupakan petunjuk yang harus diikuti jika tujuan hendak dicapai, seperti petunjuk carilah damai, serahkanlah hak aslimu, berlakulah terhadap orang lain sebagaimana kau ingin orang lain berlaku terhadapmu, dan tepatilah janji-janjimu.[23] Pentingnya prinsip bahwa janji harus ditepati paling menyolok dalam suatu persetujuan yang oleh Hobbes disebut kontrak asli, yaitu persetujuan orang-orang dalam suatu kelompok untuk membentuk suatu hidup bersama dan teratur. Persetujuan sosial yang asli inilah menjadi asal mula dari negara.[24]
4. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Pencerahan
John Locke, seperti halnya Hobbes juga menerangkan timbul negara dan hukum dengan melukiskan situasi pada zaman primitif. Namun Locke merupakan penentang teori absolutisme dari Hobbes, dengan mengemukakan teori tentang hak-hak individu yang tidak bisa dicabut.[25] Pada zaman primitif itu orang-orang hidup menurut hukum-hukum alam. Hukum-hukum alam meliputi macam-macam bidang, yakni bidang kehidupan, kesehatan, kebebasan, milik. Dalam bidang kehidupan orang-orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan hak untuk menjadi waris. Pelanggaran hak-hak itu dapat dihukum oleh tiap-tiap individu, sebab pada zaman itu tiap-tiap orang mempunyai kekuasaan hukum alam yang eksekutif (the executive power of the law of nature).[26] Pada suatu ketika orang-orang primitif itu beralih dari keadaan asli kepada keadaan sipil. Dengan beralihnya manusia kepada keadaan sipil hukum alam primitif tidak lenyap. Hukum itu tetap berlaku, pun pula dalam hubungan antara negara. Buktinya ialah bahwa semua kontrak hanya berlaku berdasarkan suatu prinsip hukum alam: janji harus ditepati (keeping of faith). Namun supaya negara dapat berfungsi sebagai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi. Sejak berdirinya negara bukan orang-orang yang bertugas untuk mengawal agar hak-hak pribadi dipertahankan, melainkan negara dan tata hukum. Sehingga tujuan negara tidak lain daripada menjamin hak-hak pribadi orang-orang. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk mencabut hak-hak alam dari pribadi manusia.[27]
John Locke menyebutkan ada tiga kekuasaan negara yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan yang tertinggi adalah kekuasaan legislatif. Oleh karena kekuasaan itu adalah yang tertinggi, maka dalam membentuk undang-undang pemerintah hanya harus tunduk pada hukum alam saja. Kekuasaan legislatif tidak hanya ditemukan dalam negara. Sekelompok orang dapat membuat undang-undang untuk hidup bersama mereka. Tetapi undang-undang itu baru menjadi sah sebagai hukum karena kekuasaan legislatif negara, yang mampu menentukan sanksi, kalau undang-undang itu dilanggar. Namun dilaih fihak kekuasaan legislatif pemerintah negara dibatasi, oleh karena rakyat memiliki kekuasaan yang melebihi kekuasaan legislatif. Rakyat berhak untuk merebut kembali kebebasan asli, kalau pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan negara. Kekuasaan itu terikat pada hukum alam, yang tetap ada pada rakyat. Dengan demikian teori hukum alam John Locke mengandung suatu tendensi revolusioner: bilamana syarat-syarat tertentu tidak dipenuhi oleh pemerintah, revolusi diperbolehkan.[28]
Dalam bukunya De l ‘Esprit de Lois yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris menjadi the spirit of laws, Montesquieu menyatakan bahwa sebelum terdapat semua hukum ini, sudah ada hukum alam. Hukum alam ini berlaku sepenuhnya dalam keberadaan wujud kita sendiri. Untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna mengenai hukum ini, kita harus membayangkan manusia sebelum terbentuknya masyarakat: hukum-hukum yang berlangsung dalam keadaan itulah yang merupakan hukum alam.[29] Yang paling penting, meskipun bukan yang pertama, dari hukum alam adalah hukum yang membekas dalam pikiran kita yang telah dijadikan oleh Sang Pencipta agar kita condong kepadanya. Manusia dalam keadaan alamiah memiliki kecakapan untuk mengetahui sebelum ia mendapatkan pengetahuan yang diperoleh dari belajar. Tentu saja ide-ide pertamanya sama sekali bukan ide-ide yang bersifat spekulatif; ia berpikir untuk mempertahankan kelangsungan dirinya sebelum ia menyelidi asal mula dirinya.[30]
Montesquieu mengemukakan generasi-generasi hukum alam, yang bertitik tolak pada keadaan alamiah manusia. Dalam keadaan alamiah manusia merasa tidak berdaya dan rasa lemah, rasa takut dan kekawatiran yang berlebihan, sehingga dalam kondisi itu mereka tidak mungkin menyerang satu sama lain; dengan demikian perdamaian jelas merupakan hukum alam yang pertama. Disamping adanya perasaan lemah ini manusia segera mendapati bahwa dirinya memiliki kebutuhan-kebutuhan. Dari sini satu hukum alam lainnya mendorong dirinya untuk mencari makanan. Disamping rasa takut membuat manusia menghindar satu sama lain, namun rasa takut ini juga mendorong manusia untuk hidup berkelompok. Dalam hidup berkelompok muncul ketertarikan diantara manusia dari jenis kelamin yang berbeda, dan kecendrungan alami yang mereka miliki satu sama lainnya ini merupakan hukum alam yang ketiga. Sementara hukum alam yang keempat muncul dari hasrat untuk hidup dalam masyarakat.[31]
Di dalam bukunya De l’Esprit des Lois (1748) Montesquieu seringkali menunjukkan dirinya sebagai seorang pembela hukum alam. Kendatipun demikian ia lebih meletakkan tekanan pada evolusi historis beraneka ragam tatanan hukum nasional;setiap bangsa mempunyai hukumnya masing-masing, yang terbentuk dari keadaan masa silamnya, kebiasaan-kebiasaan dan kesusilaannya, maupun oleh lingkungan alam sekitarnya (lingkungan geografis, iklim dan sebagainya). Dalam soal ini ia menyimpang dari hukum alam, dengan menyatakan bahwa hukum semua bangsa terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang diilhami oleh Rasio dan oleh sebab itu berlaku universal dan tidak berubah-ubah yang ingin dijabarkan sesuai dengan “kodrat segala sesuatu” didunia ini.[32] Walaupun demikian Montesquieu tetap melihat adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi konkrit suatu bangsa. Hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku bagi manusia sebagai manusia. Tetapi bagaimana hukum alam dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum tergantung dari situasi historis, psikis dan kultural suatu bangsa. Maka undang-undang yang paling baik adalah undang-undang yang paling cocok dengan suatu bangsa tertentu.[33]
Berbeda dengan Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques Rousseau sama sekali tidak bicara mengenai suatu hukum alam pada manusia primitif. Hukum alam itu baru terdapat pada orang-orang yang sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial manusia menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun secara yuridis. Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita individualnya. Tetapi sesudah timbulnya masyarakat baru cita-cita individual itu diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari kehendak baru, yakni kehendak umum (volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan umum yaitu kepentingan umum. Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu dibentuk undang-undang yang tidak mencerminkan kepentingan umum, sebab berlakunya tidak sama bagi semua orang, maka undang-undang itu harus dianggap tidak adil.[34]
Immanuel Kant mempunyai pandangan lain mengenai hukum alam. Menurutnya hukum alam tidak lain adalah hukum sebab akibat, yang menentukan alam secara deterministis. Latar belakang pandangan Kant ini ialah perpisahan antara bidang ‘ada’ dan bidang ‘harus’, bidang akal budi teoretis dan bidang akal budi praktis. Prinsip-prinsip aturan hukum termasuk bidang akal budi praktis, dan karenanya mewajibkan secara otonom. Tetapi aturan hukum sendiri termasuk bidang akal budi teoretis, oleh karena dialami sebagai gejala alam. Dalam bidang teoretis ini tidak terdapat kewajiban. Disini hanya berlaku hukum-hukum alam. Bila hukum termasuk alam, dan dengan ini berada di luar bidang moralitas, maka dapat dimengerti pula, bahwa kekerasan dan ancaman boleh digunakan untuk menjaga aturan hukum. Dengan ditegakkannya aturan hukum secara demikian, maka dengan tidak langsung aturan moral juga ditunjang. Menurut filsafat Kant undang-undang harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip umum hukum, sebagaimana ditangkap oleh akal budi praktis. Peraturan-peraturan negara adalah konkretisasi dari prinsip-prinsip umum itu. Sehingga ia menegaskan bahwa hukum hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak untuk membentuk hukum, yakni pemerintah.[35]
5. Ajaran Hukum Alam Neo-Kantian
Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti Hans Kelsen dan Rudolf Stammler memberikan pendapat mengenai hukum alam secara berbeda. Dalam menjelaskan peraturan hukum dan hukum alam, Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan hukum merupakan bentuk logis dari hukum alam (the rule of law is the logical form of the law of nature). Seperti halnya peraturan hukum, hukum alampun menghubungkan dua fakta satu sama lain seperti kondisi dan konsekuensi. Yang dimaksud dengan kondisi disini adalah “sebab”, konsekuesi adalah “akibat”. Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas (the fundamental form of the law of nature is the law of causality).[36] Perbedaan antara peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya adalah bahwa peraturan hukum menunjuk kepada manusia dan perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga bisa menjadi kajian hukum alam asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena alam. Prinsip yang digunakan ilmu (hukum) alam dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip yang digunakan ilmu hukum dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.[37] Berbeda dengan Kelsen, Stammler sampai kepada suatu pemikiran hukum alam yang bersifat tidak abadi. Hal ini disebabkan karena dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka akibatnya hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat tidaknya hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.[38]
6. Hukum Alam Menurut Mochtar Kusumaatmadja
Mochtar Kusumaatmadja[39] mengemukakan bahwa hukum bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti ilmu pasti dan alam yang objeknya benda mati. Dalam hukum positif, objek yang diaturnya sekaligus merupakan subjek (pelaku). Ini mempunyai akibat yang penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan tentang sebab-akibat (kausalitas). Hukum positif yang menjadi objek ilmu hukum positif tidak sepasti hukum ilmu alam. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif sebagai suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia dan masyarakat, ia tidak diatur oleh metode ke-ilmuan ilmu pasti dan alam, melainkan oleh metode ke-ilmuan humanities (humaniora).[40]
Hukum positif yang mengatur perilaku (tingkah laku) manusia yang bukan benda mati melainkan makluk hidup yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk (etika), mempunyai konsekuensi tidak saja bagi metode keilmuannya tetapi juga bagi kausalitas.[41] Dari penjelasan Mochtar Kusumaatmadja tersebut jelas dapat dilihat bahwa ia membedakan antara hukum positif dan hukum alam itu secara tajam dan yang terpenting menurutnya bagi manusia adalah hukum positif.
7. Hukum Alam Sebagai Metode dan Hukum Alam Sebagai Substansi.
Mengutip Dias, Satjipto Rahardjo[42] mengemukakan berbagai anggapan atas hukum alam, yaitu: merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”;
suatu metoda untuk menemukan hukum yang sempurna;
isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didedusikan melalui akal; dansuatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
Dari anggapan diatas, hukum alam dapat dibedakan atas hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai substansi. Sebagai metoda hukum alam merumuskan dirinya pada usaha untuk menemukan metoda yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan hanya memberi tahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Sementara hukum alam sebagai substansi justru berisi norma-norma. Dalam anggapan ini, orang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi manusia.[43]
Lanjut Membaca HUKUM POSITIF (beserta Literature dan catatan kaki)