Legisme (Hukum) dan Positivisme Hukum (Hukum Positif)

Posted by Syafriman ZA on 10.54.00, Oleh: Prof. DR. Faisal A.Rani,S.H.,M.H.

Legisme harus dibedakan dengan positivisme hukum. Para ahli positivisme hukum tidak membatasi diri sebagaimana para ahli hukum (legisten) pada hukum undang-undang (wetenrecht). Kebiasaan, adat istiadat yang baik, pendapat masyarakat bagi para ahli positivisme hukum dapat berfungsi sebagai sumber hukum.

Para positivisme hukum memang berpendapat bahwa ahli hukum pada karya ilmiahnya itu harus membatasi diri pada hukum positif atau hukum yang berlaku, dan tidak boleh berorientasi pada hukum kodrat atau hukum yang lebih tinggi, sebagaimana dilakukan oleh penganut hukum alam.

Bagi positivisme hukum mungkin terdapat sesuatu semacam keadilan, yang berpengaruh atas hukum yang berlaku, tetapi itu bukanlah tugas dari sarjana hukum untuk menggunakan pendapat pribadinya mengenai hal itu dalam karya ilmiahnya, itu merupakan tugas bidang ahli kesusilaan, politik dan sarjana teologi.

Dalam pandangan positivisme hukum, seseorang boleh mempercayai sesuatu hukum yang lebih tinggi pada keadilan, tetapi tidak boleh mencampurkan kepercayaan itu dalam pelaksanaan hukum. Dalam stelsel hukum abad ke 19 dan 20, pendapat hukum ini menuju kepadaa akibat bahwa yang dapat dipelajari sebagai hukum, hanyalah apa yang oleh negara diumumkan atau diakui sebagai hukum.

Dalam bentuknya yang paling murni para ahli positivisme hukum itu adalah suatu aliran dalam ilmu pengetahuan hukum yang ingin memahami hukum (yang berlaku) itu semata2 “dari dirinya sendiri” dan menolak putusan nilai mengenai peraturan hukum.

Positivisme hukum banyak variasinya. Suatu aliran yang paling tua dari Positivisme Hukum salah satunya adalah teori perintah, tokohnya John Austin hukum itu dilihat  sebagai perintah (commands) dari pemerintah. Kemudian muncul teori sistem (systeemtheorieen) yang menolak teori perintah (bevelstheorie) itu, dengan alasan bahwa semata-mata perintah dari penguasa itu belumlah cukup mereka yang menerima perintah itu harus merasa berkewajiaban (bukan semata-mata dipaksa) untuk mengikuti perintah itu. Teori sistem adalah aliran yang paling penting dalam positivisme hukum.

Intinya bahwa hukum adalah suatu stelsel dari aturan yang berkaitan satu sama lain secara oranganis, secara piramida dari norma yang terbentuk secara hirarkhis. Sistem ini adalah sistem tertutup artinya di luar itu tidak ada hukum.

 

1.  Hans Kelsen (1881-1973)

Hukum merupakan wakil yang paling terkenal  dari positivisme hukum namanya berkaitan dengan ajaran hukum murni (reine rechtslehre). Hukum merupakan alat pengikat yang paling penting, hukum itu harus merupakan suatu hukum, yang dapat berlaku bagi orang Islam, Kristen, orang Turki, Hongaria, Austria, harus suatu hukum yang dimurnikan dari berbagai unsur seperti agama, politik, sejarah, sosiologi, etik, ekonomi, dan sebagainya.

Reine rechtslehre – murni di sini mempunyai dua arti, pertama murni secara metodelogis artinya memakai metode sendiri dari ilmu pengetahuan normatif; dan kedua dimurnikan dari segala unsur yang non yuridis.

Sein dan Sollen

Ilmu pengetahuan hukum itu menurut pandangan neo-positivis bukanlah ilmu pengetahuan, karena ia    bergerak dalam bidang “yang seharusnya” ia mempunyai norma sebagai objek. Ilmu pengetahuan neo-positivis hanya dapat menyibukkan diri dengan fakta yang ada, yang dapat diverifikasi hanya sesuatu yang “ada” yang dapat diverifikasi bukan “yang seharusnya”.

Kelsen bertitik tolak dari pemisahan yang ketat antara “ada” (Sein) dan “seharusnya” (Sollen). Ia meneliti bidang sollen itu secara ilmu pengetahuan. Kelsen tidak menjadikan hal alamiah (fakta) itu sebagai objek penelitian hukum, melainkan peraturan mengenai yang seharusnya (norma-norma).

Sein yang dimaksudkan Kelsen bukanlah “ada” tetapi “berlaku” sesuatu norma itu berlaku atau tidak berlaku. Jadi dalam bidang “seharusnya” (Sollen) itu hanya dapat diajukan pertanyaan mengenai “berlakunya”, tidak mengenai “adanya” (Sein) suatu norma.

Menurut Kelsen, Sein dan Sollen termasuk dua dunia yang berbeda sama sekali, masing-masing tunduk pada aturannya sendiri. Dunia Sein berlaku aturan kausal (sebab-akibat): A adalah akibat dari B; sebaliknya dalam dunia Sollen berlaku aturan pertanggungjawaban (istilah Kelsen): Jika A terjadi, maka seharusnya B terjadi.

Ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuna normatif dari masyarakat dengan demikian memerlukan suatu metode sendiri yang tidak diarahukuman menyelidiki hubungan sebab-akibat, (seperti ilmu alam, sosiologi), tetapi diarahukuman untuk menyelidiki hubungan pertanggungjawaban. Dengan cara demikian, Kelsen berusaha mencapai kemurnian metode.

Stufenbau

Sesuatu aturan berlaku, kata Kerlsen, karena aturan itu berlandaskan pada aturan yang lain, yang lebih tinggi; dan aturan yang lebih tinggi itu pada gilirannya berlandaskan pada aturan yang lebih tinggi lagi (stufenbau).

Jika diteruskan demikian, maka akhirnya kita akan tiba pada aturan yang tertinggi, yakni Grundnorm (norma dasar), yang tidak dapat dialihukuman kepada aturan lain, yang lebih tinggi.

 

 

2. H.L.A. Hart

Hart juga melihat hukum itu sebagai stelsel norma dengan suatu aturan dasar, yakni ultimate rule of recognition. Pada Hart, ultimate rule of recognition tidak sebagaimana Kelsen yang merupakan suatu aturan hipotetis yang dianggap demikian, tetapi suatu “fakta”, yang dapat diselidiki secara empiris.

Misalnya di Inggris “Apa yang diperbuat Ratu di Parlemen secara resmi adalah hukum” – aturan ini bukan merupakan dasar suatu sistem hukum karena ia “berlaku”, melainkan karena orang menyesuaikan diri padanya.

Dengan demikian bagi Hart “berlakunya” ultimate rule of recognition itu karena ia “ada” dan diterima dalam hidup masyarakat itu. Hart tidak sebagaimana Kelsen – bahwa Grundnorm itu sebagai norma terakhir hanyalah mempunyai keberlakuan hipotetis, yang dianggap demikian.

Ultimate rule of recognition tergantung dari stelsel norma di mana ia merupakan norma tertinggi – sebaliknya pada Kelsen, norma yang tertinggi itu sebenarnya senantiasa mempunyai isi yang sama: “Bertingkah lakulah, sebagaiman ditentukan oleh konstitusi negaramu”.

Primary Rule dan Secondary Rule

Titik tolak Hart adalah teori perintah (cammand-theorie) dari Austin. Dalam teori perintah pada hakekatnya berintikan bahwa hukum itu adalah merupakan suatu rangkaian perintah dari pemerintah. Menurut Hart, aturan hukum disamping sebagai perintah, juga menciptakan kewajiban dari warga untuk mematuhi aturan itu.

Dengan apakah sebenarnya keberlakuan aturan itu harus diukur? “Berlaku sah” dalam hubungan ini sesungguhnya berarti berlaku menurut aturan tertentu. Untuk itu Hart membagi aturan hukum dalam dua kelompok yaitu primary rule dan secundary rule.

Secundary rule yaitu mengatur persolan keabsahan suatu aturan, yang tidak memberikan ketentuan “ini boleh” – “ini tidak boleh dikerjakan” – tetapi memberikan wewenang kepada yang berwajib, yang telah mengadakan spesialisasi dalam pemeliharaan hukum – yang seolah-olah merupakan suatu oranganisasi yang memberikan struktur dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum.

 

Hart membedakan 3 macam secondary rule:

Keragu2an mengenai isi hukum dapat diatasi dengan aturan pembantu mengenai pengakuan (secondary rule of recognition), yang menyatakan keabsahan aturan primer.

Kekakuan hukum dapat hilang apabila terdapat persesuaian mengenai aturan pembantu untuk perubahan hukum (secondary rule of change). Ditetapkan prosedur untuk pembentukan aturan hukum.

Ketidkmampuan hukum dapat diatasi dengan pembentukan badan, yang menetapkan apabila suatu aturan dibatalkan dan pelaksanaan keputusan yang telah diambil oleh badan yang pertama diserahukuman kpada badan lain. Inilah aturan pembantu untuk membentuk pejabat kehakiman (secondary rule of adjudication).