Oleh J. Septer Manufandu

Tanah bagi suku Moi Sebagai Pusat Kehidupan dan Pengetahuan

Ilustrasi perkebunan sawit - tempo.co
Ilustrasi perkebunan sawit – tempo.co

Suku bangsa Moi mendiami Tanah Malamoi di Kabupaten dan Kota Sorong, Raja Ampat, Tambrauw dan sebagian Sorong Selatan. Masyarakat hukum adat Moi dikelompokkan menjadi 8 sub suku yaitu: sub suku moi Kelim, Moi Sigin, Abun taat, Abun Jii, Klabra, Salkhma, Lemas dan Maya yang masih hidup dan menempati wilayah Malamoi.

Tanah di lingkungan masyarakat adat Moi mempunyai arti penting bagi kehidupan dan penghidupan warga masyarakat adat dalam upaya memenuhi segala kebutuhan dan penghidupan secara turun-temurun. Filosofi dasar pandangan masyarakat adat Moi mencakup artisi mbolik dan religius magis.

Secara simbolik tanah dianggap sebagai “dusun”, ”dapur”, “tempat tumpah darah”, dan tanah sebagai “ibu/mama”. Secara religius magis tanah memiliki nilai tertinggi dari sumber segala ciptaan dan penguasaan alam dan pemberian hidup dari Tuhan. Masyarakat adat Moi menerjemahkan kedua pandangan tersebut menjadi suatu pranata hukum adat atas tanah yang meliputi hak adat atas tanah tanpa membedakan tingkat kesuburan, air, laut, teluk, sungai, danau, satwa, dan tumbuh-tumbuhan. Hubungan antara manusia dan tanah adat sangat erat, sebab tanah adat itu di nilai mempunyai hubungan dengan pemujaan arwah moyang mereka, sehingga tanah adat itu mempunyai “nilai religius magis”.

Masyarakat adat Moi, memandang bahwa tanah sebagai pusat kehidupan dan pengetahuan. Dengan pandangan ini, setiap pengalihan hak atas tanah atau pemanfaatan dari hasil tanah lingkungan tanah adat, harus memerlukan izin terlebih dahulu dari pemilik (tuan rumah). Tanpa mengindahkan aturan atas tanah adat tersebut, bukan saja merupakan pelanggaran tetapi lebih mengarah kepada tindakan permusuhan baik secara intern atau ekstern.

Tata cara pengaturan penguasaan, pemilikan dan pengolahan dan penggunaan tanah adat diatur berdasarkan struktur pemerintahan adat. Pada masyarakat adat Moi proses pembentukan sebagai seorang pemimpin harus melalui tahapan dalam pendidikan adat yang disebut dengan kambik. Melalui proses di kambik seseorang barulah disebut sebagai laki-laki (Nedla) atau pria sejati yang telah siap menjadi pemimpin bagi klen/marganya. Seorang laki-laki  (Nedla) akan sangat memahami adat-istiadat dan memiliki kemampuan lainnya seperti bidang kesehatan, pertanian, dan sosial-budaya, serta ekonomi dan yang lebih penting dapat mengayomi komunitasnya. Jadi masyarakat adat Moi memiliki sistem kepemimpinan big man (pria sejati) yang memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menjadi pemimpin tidak dibatasi pada garis keturunan secara umum tetapi pada tingkat klan/marga mengikuti garis keturunan.

 

Hutan adat Moi bukan hutan negara

Tanah Moi telah dikepung oleh meluasnya perkebunan kelapa sawit yang telah berdampak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakatnya. Perluasan perkebunan kelapa sawit mengakibatkan hilangnya Tata Ruang Kelola Masyarakat Adat, tempat-tempat bersejarah dan tempat-tempat keramat. Dicatat kurang lebih 8 perusahaan yang telah beroperasi di atas tanah ulayat masyarakat adat Moi, secara khusus di Kabupaten Sorong yang telah mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, yaitu: PT. Henrison Inti Persada (PT. HIP) dan PT. Inti Kebun Sejahtera, sedangan 6 perusahaan lainnya sudah mendapatkan IUP kelapa sawit dari Pemerintah Kabupaten Sorong dan hanya menggu waktunya untuk beroperasi.

Masyarakat adat Moi, baik secara sub suku dan atau klen/marga hanya bisa menerima kenyataan ini. Karena perusahaan-perusahaan ini telah mengantongi izin, telah berkompromi dengan pemerintah daerah dan Propinsi Papua Barat.

Ada sejumlah permasalahan terkait dengan berkembangnya industri perkebunan di wilayah Papua khususnya di Tanah Malamoi. Ada keterlibatan pihak aparat keamanan yang memainkan peran ganda sebagai aparat keamanan bagi perusahaan pada saat mereka melaksanakan tugas negara, kurangnya pengormatan terhadap prinsip-prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) seperti janji yang tidak ditepati, penipuan oleh perusahaan, serta tidak memadainya kompensasi ganti rugi atas tanah. Dalam pembentukan perkebunan baru, hak pemilik tanah seringkali tidak dihargai.

Meskipun beberapa kelompok masyarakat adat berhasil menolak rencana perkebunan, banyak kelompok adat telah tertipu, terintimidasi, atau termanipulasi dengan menerima skema perkebunan tersebut yang akan mereka tolak jika mereka bebas menentukan pilihannya. Saat pekerjaan sudah dimulai, masyarakat mulai menyadari bahwa mereka menjadi miskin, karena mereka tidak bisa lagi bergantung pada hutan adat di mana mereka biasa menggantungkan hidupnya, dan perusahaan juga mengingkari janji mereka untuk menyediakan lapangan pekerjaan, sistem kesehatan, dan pendidikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012 menegaskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari hutan negara. Demikian pula dengan hutan adat Moi. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi pasal 18B ayat (2); Negara mengakui dan menghormati kesatuan­kesatuan masyarakat hukum adat, serta hak­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam undang­undang.

Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dilaksanakan syarat : (1) Masyarakat adatnya masih hidup; (2) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan (3) Sesuai dengan prinsip NKRI. Selain itu pasal 28I UUD 1945 juga menggariskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga memberikan landasan hukum yang cukup kuat untuk Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi yaitu yang tercantum pada Pasal 43 tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Papua.

Pada Oktober 2016, Masyarakat hukum adat Moi menyerahkan draf rancangan peraturan daerah kepada DPRD Kabupaten Sorong. Rancangan perda berkaitan dengan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) MOI di Kabupaten Sorong, dengan tujuan sebagai berikut: a) Menjamin dan memastikan terlaksananya penghormatan oleh semua pihak terhadap keberadaan MHA Moi dan hak-haknya yang telah diakui dan dilindungi secara hukum; b) Menyediakan dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam memberikan layanan dalam rangka pemenuhan hak MHA Moi; c) Memberikan kepastian hukum bagi hak MHA Moi, agar dapat hidup aman, tumbuh dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi; d) memberikan perlindungan terhadap hak MHA Moidi Kabupaten Sorong dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan; e) Melindungi sistem nilai yang menentukan pranata sosial, ekonomi, politik, budaya dan hukum adat Moi; f) Mewujudkan pengelolaan wilayah adat secara lestari berdasarkan hukum adat; g) Mewujudkan kebijakan pembangunan di daerah yang mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak MHA; h). Memberikan kepastian terlaksananya tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sorong di bidang penghormatan, pemenuhan, perlindungan, dan pemberdayaan MHA Moi dan hak-haknya.

Perda ini juga merupakan prasyarat sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.32/2015 tentang Hutan Hak yang merupakan tindak lanjut dari Putusan MK no.35/2012. Berdasarkan Peraturan ini, masyarakat adat berhak memperoleh penetapan hutan adatnya sebagai hutan hak komunitas adat melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah Pemda atau DPRD mengesahkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Saat ini sudah ada 12 Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di Provinsi Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Banten. Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2016 menyerahkan SK Penetapan Hutan Adat sebagai Hutan Hak Komunitas Adat untuk 9 Komunitas Adat di provinsi-provinsi tersebut. Apabila Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA Moi disahkan oleh DPRD Kabupaten Sorong, maka Perda ini akan menjadi Perda pertama di Tanah Papua yang memberikan pengakuan dan perlindungan bagi MHA.

Semoga draf Perda Pengakuan dan “Perlindungan Masyarakat hukum adat (MHA) Moi di Kabupaten Sorong”,  dapat menjadi alat untuk menjembatani persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan Tanah Ulayat Moi. Dan Saat ini, dibutuhkan laki-laki sejati (Nedla) Moi yang berperan di Pemerintahan baik itu eksekutif dan legislative untuk berpikir arif dan bijaksana untuk melakukan tindakan penyelamatan Tanah Malamoi yang kian lama terus dikepung untuk kepentingan investasi dan pembangunan sementara masyarakat adat Moi semakin terpinggirkan. (*)

Penulis adalah Sekretaris Eksekutif JERAT